Salah Satu Latar Belakang Dari Perang Diponegoro Adalah – Perang Diponegoro merupakan sebuah episode dalam sejarah Indonesia yang – jika kita menggunakan perspektif kontemporer – sangat rasis. Perasaan antipati terhadap orang asing terwujud dalam bentuk kekerasan dan pembunuhan di kalangan pengikut Diponegoro. Belanda dibenci karena dianggap sebagai penguasa asing yang tidak setia dan berusaha mengeksploitasi kekayaan tanah Jawa. Sedangkan orang Tionghoa dibenci karena distereotipkan sebagai kaki tangan Belanda.

Ketika perang baru berlangsung beberapa bulan, komunitas Tionghoa di Ngawi sudah menjadi sasaran penyerangan pasukan Diponegoro. Peter Carey, sejarawan yang mempelajari Perang Jawa (nama lain Perang Diponegoro) selama lebih dari 40 tahun menjelaskan, penyerangan pada September 1825 dipimpin oleh seorang panglima perempuan bernama Raden Ayu Yudokusumo.

Salah Satu Latar Belakang Dari Perang Diponegoro Adalah

Yudokusumo dikenal memiliki temperamen yang keras. Dia mengatakan dia tidak punya simpati terhadap rakyat Tiongkok. “Seluruh komunitas Tionghoa di Ngawi, yang tidak mempedulikan tangisan menyedihkan perempuan dan anak-anak, dibunuh dengan pedang, mayat-mayat yang dimutilasi dibiarkan tergeletak di mana mereka terjatuh, pintu-pintu dan jalan-jalan berlumuran darah,” tulis Carey dalam bukunya. riset. .

Sejarah Perang Diponegoro (perang Jawa)

Laporan penelitian berjudul “Mengubah Persepsi Masyarakat Jawa terhadap Komunitas Tionghoa di Jawa Tengah 1755-1825” yang dimuat di surat kabar Indonesia (April 1984, PDF) juga menjelaskan bahwa kekerasan terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti di Ngawi. Pembantaian juga meluas ke Jawa Tengah di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Masyarakat yang masih hidup terpaksa mengungsi ke pantai utara Jawa, yang disusul dengan hancurnya pemukiman Tionghoa terbesar di Bagelen bagian timur.

Menurut Carey, sifat xenophobia (kebencian terhadap orang asing) yang disertai chauvinisme merupakan bagian dari bangsawan Jawa sejak awal abad ke-19. Beberapa dari mereka terang-terangan mengeluhkan penunjukan orang Tionghoa sebagai pejabat. Kecemburuan itu semakin memuncak ketika orang Tionghoa – yang umumnya kompeten dalam pengelolaan keuangan – ditunjuk sebagai operator utama di kantor bea cukai karena meningkatnya tuntutan fiskal.

Sistem perpajakan yang dibuat di Belanda memungkinkan sebagian orang Tionghoa mengeksploitasi rakyatnya. Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia (2008: 320) mengatakan bahwa salah satu bentuk pungutan liar ditunjukkan dengan peraturan pajak tol yang tidak masuk akal. Pajak tersebut tidak hanya berlaku bagi petani dan pedagang saja, namun ada juga cerita yang menyebutkan bahwa ibu-ibu di Jawa yang menggendong anak juga diminta membayar cukai karena dianggap sebagai pembawa barang. Belakangan, kecemasan berubah menjadi kemarahan, yang memicu terjadinya tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap warga Tiongkok yang menjaga gerbang cukai.

Baca Juga  Tulislah Tiga Kegiatan Yang Menggunakan Kalimat Baku

Ketika kondisi di luar negeri (wilayah di luar kerajaan) semakin kacau, lanjut Vlekke, Gubernur Jenderal van der Capellen memperburuk keadaan dengan mengubah sistem sewa tanah pedesaan milik bangsawan Jawa. Pemiliknya menuduh van der Capellen hanya memperhatikan bisnis asing, beberapa di antaranya adalah orang Cina. Bermula dari situlah para bangsawan Jawa khususnya pendukung Kesultanan Yogyakarta memutuskan untuk mengangkat senjata di bawah komando Pangeran Diponegor.

Hari Pahlawan Dan 12 Pahlawan Nasional Muslim Dan Muslimah Indonesia, Beberapa Berlatar Belakang Pesantren

Namun bagaimanapun sosok xenofobia yang ia perankan, Peter Carey, dalam karya lain Perang Diponegoro, Kekuatan Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Berakhirnya Orde Lama di Jawa, 1785-1855 (2019: 727), mengatakan akan menjadi sebuah Salah jika perang Diponegoro mutlak dikaitkan dengan pembantaian anti-Tionghoa. Ketika perang berlangsung, banyak hal berubah dan orang Tiongkok mulai diperlakukan sebagai mitra dagang. Selain menjadi pemasok mesiu dan candu untuk keperluan perang, ada juga yang masuk Islam dan berperang bersama tentara Diponegoro.

Diponegoro dan Nyonya Cina Menurut Carey, pada hakikatnya Diponegoro tidak pernah menentang kehadiran orang Cina di pasukannya. Ia tidak merasakan kebencian pribadi terhadap bangsa lain kecuali Belanda yang selalu ia sebut kafir. Mungkin Diponegoro teringat salah satu panglima terdekatnya, Pangeran Ngabehi, yang lahir dari pernikahan kakeknya Hamengkubuwono II dengan seorang wanita Tionghoa.

Sikap Diponegoro berubah drastis setelah tahun 1826. Ia mulai melarang para panglimanya menjalin hubungan dekat dengan orang Tionghoa. Pada tahun-tahun berikutnya, Diponegoro bahkan memerintahkan panglima terdekat sekaligus saudara iparnya, Raden Ario Sosrodilogo, untuk tidak berhubungan seks dengan wanita Tionghoa, dan bahkan menjadikan mereka sebagai selir.

Dalam Babad Dipanegara versi terjemahan (2016: 428), sang pangeran mengaku juga tunduk pada Tiongkok. Wanita yang ditangkap di kawasan Pajang itu diserahkan kepada Diponegor sebagai tukang pijat. Carey mencatat, peristiwa ini terjadi dua hari sebelum kekalahan memalukan Diponegoro dalam Pertempuran Gawok pada 15 Oktober 1926.

Soal & Kunci Jawaban Sejarah Indonesia Kelas 11 Halaman 152 Bab 2: Perang Melawan Penjajahan Belanda

“Di Kedaren pada malam hari, seorang wanita Tionghoa diminta untuk memijat. Kanjeng Sultan [nama resmi Diponegoro] salah karena pikirannya hanya tertuju pada Kanjeng Ratu [istrinya] sebagai penghibur para kekasih”, Diponegoro diakui dalam kronik.

Baca Juga  Tidak Mabit Di Mina Damnya

Menurut analisis Peter Carey terhadap Chronicle, Diponegoro secara tersirat mengakui bahwa kekalahannya dalam pertempuran disebabkan perselingkuhannya dengan seorang simpanan Cina. Konon ia juga memikirkan pengaruh nafsu yang melemahkan kekuatan dan kekebalan batinnya, seperti yang ditulisnya sendiri dalam kelanjutan cerita babad.

“Setelah raja mengetahui bajunya berwarna merah [berlumuran darah], dia teringat akan permaisurinya, maksud pikiran dan perbuatannya. Kalau aku mati dalam keadaan malu, kalau aku mati duluan, seolah-olah dia tidak mati.” izinkan itu.”

Sejak saat itu, Diponegoro percaya bahwa hubungan seksual antara wanita Jawa dan Tionghoa bisa membawa sial. Persoalan itu kembali diungkitnya ketika pasukan pimpinan Raden Sosrodilog mengalami kekalahan dalam pertempuran Rembang dan Jipang-Rajegwesi. Diponegoro menyalahkan Sosrodilogo atas kekalahannya karena setelah jatuhnya kota pesisir timur Rembang pada tanggal 31 Desember 1827, ia memperkosa seorang wanita Tionghoa dari Lasem.

Awal Mula Perang Jawa Atau Perang Diponegoro

“[…] Raden Sasradilaga lupa keinginannya untuk berangkat haji, lalu menjalin hubungan dengan simpanan Tionghoa. Ini cara perang yang malang […]”, tulis Diponegoro (hlm. 490).

Dalam Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (2009: 13), sarjana Indonesia Benedict Anderson menjelaskan bahwa sejak raja-raja Jawa masih berkuasa, para bangsawan percaya bahwa perkawinan antara perempuan Jawa dan Tionghoa, terutama yang berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi, akan membawa dampak positif. selesai. dalam bencana

Menurut kepercayaan tersebut, kata Anderson, anak yang lahir dari perkawinan campuran akan lebih terlihat Tionghoa dibandingkan Jawa. Pepatah lama mengatakan “abu orang Tionghoa jauh lebih tua” diyakini ada benarnya, termasuk Diponegoro. Rasa takut kehilangan “kejawaan” inilah yang menjadi akar dari kegelisahan terhadap hubungan seksual antar ras di kalangan masyarakat Jawa. Perang Diponegoro atau dikenal juga dengan nama Perang Jawa merupakan salah satu perang besar yang terjadi di Pulau Jawa. Perang ini melibatkan pasukan Belanda dan penduduk Jawa.

Perang yang dipimpin Pangeran Diponegor terjadi di Jogja dan bermula karena adanya campur tangan Belanda dalam urusan internal Kesultanan Jogja.

Tokoh Tokoh Perang Diponegoro Halaman All

Kedatangan Belanda di Indonesia menjadi permasalahan besar bagi bangsa, campur tangan Belanda dalam permasalahan internal Kesultanan Jogja memecah belah kerajaan. Hal ini membuat Pangeran Diponegoro menunjukkan ketidaksenangannya terhadap Belanda, sikap tersebut semakin bertambah ketika tanah leluhurnya diikat oleh Belanda, ia pun melepas pasaknya.

Gara-gara kejadian itu, Belanda menganggapnya pemberontak dan berusaha menangkap Pangeran Diponegor. Upaya Belanda ini memaksa Pangeran Diponegor meninggalkan istana dan menetap di Tegalrejo. Di sini dia menjalani kehidupan religius dan folkloric.

Kemudian pada tahun 1822 diangkat menjadi salah satu anggota dewan Hamengku Buwono V yang saat itu baru berusia tiga tahun. Diponegoro tidak menyetujui cara pengawasan tersebut, sehingga Belanda kembali menuduhnya merencanakan pemberontakan. Akibatnya pada tanggal 20 Juni 1825 diserbu Belanda, dan inilah awal mula Perang Diponegoro.

Baca Juga  Cairan Empedu Yang Dibuat Di Hati Merupakan

Perang Diponegore merupakan perang besar yang berlangsung selama lima tahun yaitu Juli 1825 hingga 28 Maret 1830. Perang Diponegore terjadi di Pulau Jawa yang melibatkan penduduk pribumi dan pasukan Belanda.

Makalah Pangeran Diponegoro

Dalam memimpin perang ini, Pangeran Diponegor dibantu oleh banyak pejuang seperti Mangkubumi, Kyai Modjo dan Sentot Prawirodirdjo. Perang ini disebut perang besar karena mengorbankan harta benda dan nyawa manusia. Berdasarkan dokumen Belanda, perang tersebut memakan korban jiwa 200.000 masyarakat adat dan 8.000 orang di pihak Belanda. Disebut juga Perang Jawa karena hampir seluruh wilayah Jawa terlibat dalam perang ini.

Perang Diponegor dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 dengan ditangkapnya Pangeran Diponegor dan Mangkubumi oleh utusan Belanda di Tegalrejo. Saat itulah Pangeran Diponegor berhasil melarikan diri. Tiga minggu kemudian, Pangeran Diponegoro dibantu Kyai Mojo menyerang Belanda dan berhasil merebut Keraton Jogja serta memperluas kedudukannya ke arah timur.

Pada tahun 1927, tentara Belanda mengerahkan 23.000 prajurit untuk melawan Pangeran Diponegor. Belanda membangun benteng di Jawa Tengah dan Timur, sehingga Pangeran Diponegoro dipenjarakan.

Pada tahun 1829 Kyai Mojo ditangkap, disusul penangkapan Mangkubumi dan Alisabah, pada tanggal 16 Februari 1830 terjadi pertemuan antara Pangeran Diponegor dengan Kolonel Baptista Cleerense sebagai utusan Jenderal De Kock, pertemuan ini beberapa kali untuk menyimpulkan gencatan senjata. . .

Perang Diponegoro (1825 1830)

Pada tanggal 28 Maret 1830, pasukan Belanda menangkap Pangeran Diponegor, penangkapan ini menandai berakhirnya Perang Diponegor. Setelah ditangkap, Pangeran Diponegoro diasingkan ke sebuah bangunan tempat tinggal di Semarang dan dibawa ke Batavia. Pangeran Diponegoro meninggal saat dipindahkan ke Makassar di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855. Hal ini membuat Pangeran Diponegor murka dan menganggapnya sebagai penghinaan. Untuk memperkuat kekuasaannya, Pangeran Diponegoro membangun pusat pertahanan di Selarong. Dukungan terhadap Pangeran Diponegor datang dari mana-mana, membuat pasukan Diponegor semakin kuat. Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasya Prawirodirjo dan Kiai Mojo datang memberi dukungan. Di pihak Belanda, untuk melawan perlawanan, Pangeran Diponegoro memimpin pasukan ke Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Jenderal Marcus de Kock.

Pangeran Diponegoro memimpin pasukannya dalam perang gerilya. Untuk mengatasi perlawanan Diponegora, Gubernur Jenderal Van Der Capellen menugaskan Jenderal Marcus De Kock untuk menjalankan Strategi Benteng Stelsel, yaitu mendirikan benteng di setiap tempat yang dikuasainya. Benteng yang satu dan benteng lainnya dihubungkan melalui jalan raya untuk memudahkan komunikasi dan pergerakan pasukan. Taktik benteng Stelsel ini bertujuan untuk membatasi ruang gerak unit Diponegor. Pasukan Diponegor semakin melemah terutama pada tahun 1829

Latar belakang terjadinya perang diponegoro, latar belakang perang aceh, latar belakang pangeran diponegoro, latar belakang perang diponegoro, latar belakang perang uhud, latar belakang perang shiffin, latar belakang perang badar, latar belakang perang khandaq, latar belakang perang dingin, latar belakang perang padri, latar belakang perang korea, latar belakang perang dunia