Perbedaan Tidak Seharusnya Menjadi Sumber – Penjaminan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan (FBER) di Indonesia setidaknya masih menghadapi tiga tantangan: konseptual, sosial, dan hukum. Pada tataran konseptual, sebagian masyarakat menganggap konsep ini sebagai konsep yang muncul dari tradisi Barat yang tidak sesuai dengan budaya keagamaan masyarakat Indonesia. Konsep kebebasan beragama seringkali dianggap sebagai gagasan yang memperjuangkan kebebasan tanpa batas yang justru bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Di tingkat masyarakat, sebagian masyarakat belum siap menerima dan berkomunikasi dengan perbedaan agama dan kepercayaan. Meskipun secara historis masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, namun dalam praktiknya tidak ada jaminan bahwa penghormatan terhadap perbedaan dilaksanakan dengan cara yang pantas dan tanpa kekerasan.

Berbagai peristiwa di tanah air, mulai dari ujaran kebencian atas nama agama, persekusi dan kekerasan, pelarangan kegiatan keagamaan, dan lain-lain, menunjukkan bagaimana tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama terus terjadi. Pada tataran hukum, penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran CCB masih belum maksimal. Tidak jarang juga korban yang sebagian besar berasal dari kelompok minoritas mengalami kriminalisasi karena dituduh melakukan tindak pidana penodaan agama atau mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat. Permasalahan penegakan hukum ini muncul karena peraturan perundang-undangan yang lebih menekankan pada pembatasan kebebasan beragama, seperti UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan/penodaan agama; SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, Keputusan Bersama 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah dan adanya berbagai peraturan di tingkat daerah yang membatasi kebebasan beragama kelompok minoritas.

Perbedaan Tidak Seharusnya Menjadi Sumber

Banyak laporan yang menunjukkan bahwa berbagai peraturan tersebut tidak menjamin hak atas kebebasan beragama. Tentu bukan hanya fenomena unik di Indonesia, secara global kita juga bisa menemukan bagaimana kebebasan beragama, seperti pengalaman dunia Barat, juga berulang kali dibicarakan. Dari pemberitaan media massa yang membentuk persepsi umum, kita dapat menemukan bahwa konflik global berakar pada konflik yang bernuansa agama, setidaknya sejak penyerangan WTC pada 11 September 2001 yang diikuti dengan berkembangnya aksi teroris dimana-mana. Agama juga berperan sebagai komunitas interpretatif (

Unity In Diversity Menjadikan Keberagaman Sebagai Kohesi Sosial Dalam Bingkai Multikulturalisme Nasional

) dalam urusan publik. Bahasa agama juga mewarnai perdebatan publik, mulai dari isu legalisasi aborsi, euthanasia sukarela, penelitian biogenetik yang memicu perdebatan bioetika, dan pernikahan sesama jenis. Akibatnya, wacana keagamaan semakin mempengaruhi pembentukan opini publik, bahkan di masyarakat yang sudah sangat sekuler.

Baca Juga  Wirausaha Kerajinan Bahan Limbah Adalah

Pertama, membahas pengertian agama yang harus kita perhatikan dari sudut pandang hukum, agama ditempatkan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam konteks hak asasi manusia internasional, indikasi definisi ini tercantum dalam Komentar Umum Dewan Hak Asasi Manusia PBB no. 22, paragraf 2 pasal 18 ICCPR (

) yang mencoba mendefinisikan agama secara cukup luas. Dinyatakan bahwa istilah keyakinan dan keimanan harus dipahami secara luas mencakup keyakinan monoteistik, non-maniak dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun. Pasal 18 ICCPR dalam hal ini menempatkan agama dalam konteks kebebasan untuk menganut atau menganut suatu agama atau kepercayaan sesuai pilihannya, termasuk untuk berpindah atau meninggalkan agama atau kepercayaannya (

) agama atau kepercayaan yang dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan (1981) meliputi mengamalkan agama dan meyakini kegiatan keagamaan, memiliki tempat ibadah, menggunakan/memakai simbol-simbol agama, menjalankan ibadah keagamaan, upacara-upacara dan hari-hari besar, mengangkat atau mengutus seorang pemuka agama, menyelenggarakan pertunjukan-pertunjukan keagamaan dan sejenisnya.

Tolong Di Jawab Besok Di Kumpulkansoal Ada Di Foto​

Jika ditilik secara sosiologis, salah satu sudut pandang yang dapat dijadikan acuan adalah pendapat Emile Durkheim yang mengartikan agama sebagai suatu sistem keyakinan dan praktik yang disatukan dengan hal-hal sakral. Keyakinan dan adat istiadat bersatu dalam satu komunitas. Dari pengertian tersebut terdapat dua unsur penting yang menjadi syarat sesuatu disebut agama, yaitu sifat suci agama dan praktik ritual agama. Dari pengertian tersebut kita dapat melihat bahwa sesuatu disebut agama bukan karena hakikat isinya, melainkan karena wujudnya yang memuat kedua ciri tersebut di atas. Yang sakral dalam pengertian Durkheim bukanlah bersifat teologis, melainkan sosiologis. Sifat sakral dikonsepsikan sebagai satu kesatuan yang di atas segalanya.

” yang artinya kacau. Oleh karena itu, agama biasanya dimaknai sebagai aturan hidup agar manusia terhindar dari kekacauan. Ada yang mengartikan agama dari “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti “pergi” atau “pergi”. Dari sudut pandang ini agama berarti tidak meninggalkan, diam pada tempatnya, kekal dan diwariskan.Makna tersebut karena dalam agama terdapat nilai-nilai universal yang tetap, abadi dan berlaku sepanjang masa. Selain itu, istilah dapat ditemukan dalam bahasa Inggris

). Ketiga konsep ini mempunyai persamaan yaitu upaya reflektif yang dapat dijadikan modalitas tindakan. Nicholas dari Cusa dan Marsilio Ficino bahkan menggunakan ketiga konsep ini secara bersamaan.”

Baca Juga  Sebutkan 2 Limbah Lunak Yang Berasal Dari Gambar Tersebut

”, kita menjadi religius ketika kita membaca kembali kitab suci, yang kemudian membawa kita (manusia) kembali kepada Tuhan. Dalam konteks ini, hal inilah yang juga diklaim oleh Cusa dan Ficino

Memahami Keberagaman Suku Bangsa, Modal Jadi Negara Maju

Meyakini bahwa tren ini mengarah pada penggunaan agama sebagai instrumen politik. Hal ini telah dicatat setidaknya sejak zaman Niccolò Machiavelli. Jika sebelumnya agama diatur dalam pengertian yang sangat humanistik, pada masa Machiavelli mulai bergerak jejak-jejak transenden yang menjanjikan kehidupan spiritual bagi bumi manusia, termasuk hukum Tuhan. Bagi Machiavelli, agama tidak lain hanyalah sarana untuk meningkatkan solidaritas dan kohesi sosial, yang dari sudut pandang kekuasaan politik berguna bagi perdamaian rakyat sementara penguasa bersiap menghadapi perang dan sebagainya (Leinkauf, 2014: 167).

Agama dalam konteks ini tidak lebih dari sekedar pemacu solidaritas dan kohesi dalam masyarakat, dan jika dilihat dari sudut pandang kekuatan politik, agama merupakan sarana untuk mengarahkan dan menenangkan masyarakat ketika penguasa, misalnya, bersiap menghadapi perang.

Oleh karena itu, agama seharusnya mengatur negara, bahkan mengaturnya sebagai bagian fundamental dalam menjaga negara. Machiavelli melihat adanya hubungan timbal balik antara agama yang hidup dalam masyarakat dengan bagaimana masyarakat berfungsi dan berfungsi untuk bersatu membela negara (Leinkauf, 2014: 167).

Pimpinan suatu republik atau negara harus menjaga dasar-dasar agama republik atau kerajaan itu, sehingga mudah untuk memelihara agama republik itu, yang baik dan unik.

Integrasi Nasional Dalam Keberagaman Negara Indonesia

Dalam konteks Indonesia, pengertian agama tidak lepas dari kebijakan agama dan negara yang berkembang sebelum sidang BPUPK, pada saat sidang BPUPK, dan sampai setelahnya. Menilik sejarah, Kementerian Agama pada tahun 1952 mengajukan definisi agama yang mencakup tiga unsur: keberadaan nabi, kitab suci, dan pengakuan internasional. Usulan definisi agama yang minimal, sempit dan sektarian merupakan bentuk menutup kemungkinan “kepercayaan” kelompok abangan diakui sebagai agama. Definisi yang diusulkan ini memang menemui perlawanan, dan meskipun tidak pernah tertulis dalam dokumen pemerintah, definisi tersebut secara efektif digunakan untuk mengklasifikasikan dan menentukan apa yang bisa dan tidak bisa dikategorikan sebagai agama, dan siapa yang bisa dan tidak bisa dianggap sebagai kelompok agama (Maarif). , 2017:25).

Agama apa saja yang dilindungi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan? Apakah hanya agama-agama besar dunia saja ataukah mencakup agama/kepercayaan lokal? baik semua agama dan segala macam kepercayaan

. Pertanyaan tersebut sebenarnya adalah sebuah tipuan. Seringkali masyarakat beranggapan bahwa hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan melindungi agama atau kepercayaan. Sebenarnya tidak, sama seperti hak asasi manusia lainnya, yang dilindungi adalah pribadinya, bukan agama atau kepercayaan itu sendiri.

Baca Juga  Teknik Pendaratan Pada Loncat Harimau Dengan Menggunakan

Kebebasan beragama dan berkeyakinan melindungi orang-orang yang menganut suatu agama, mempercayai atau mengamalkan agama lama, baru, sejarah negara atau agama lain. Kebebasan beragama dan berkeyakinan juga melindungi orang-orang yang menganut paham non-agama, seperti atheis, humanis dan sebagainya, dimanapun mereka berada. Ia melindungi bahkan orang-orang yang sama sekali tidak peduli dengan agama atau kepercayaan. Dengan kata lain, lindungi segalanya.

Kebijakan Baru Ketenagalistrikan Bersubsidi Maupun Kompensasi

Mengenai hubungan negara dan agama, Komentar Umum Kovenan Hak Sipil dan Politik No. 22 tidak. Pasal 9 menyatakan bahwa persoalannya bukan pada keberadaan agama negara, agama resmi, atau agama tradisional atau mayoritas. Hal-hal tersebut diperbolehkan menurut hukum internasional sepanjang tidak mengurangi penikmatan hak atau melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain (tidak dinyatakan sebagai agama resmi negara), atau mereka yang tidak menganut agama apa pun. Diskriminasi di sini mencakup antara lain larangan memberikan layanan publik kepada mereka atau pemberian hak istimewa ekonomi atau larangan tertentu mengenai praktik keyakinan lain. Ada juga ideologi resmi dalam konstitusi, undang-undang, atau praktik suatu negara. Kenyataan ini tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan atau hak lainnya dan tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap orang yang tidak menerima atau tidak setuju dengan ideologi resmi (Asfinavati, 2016: 94-95).

Untuk mengetahui hak apa saja yang dilindungi dalam kebebasan beragama, kita perlu melihat Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan Pasal 18 ICCPR. Deklarasi mengungkapkan kemauan politik, sedangkan pakta mengikat secara hukum. Kata-kata dalam Pasal 18 ICCPR berbunyi:

Oleh karena itu, unsur pertama dan utama yang dilindungi adalah kebebasan untuk menganut, memilih, mengubah atau meninggalkan suatu agama atau kepercayaan (

). Pertama, adanya hak atas perlindungan dari pemaksaan dan perlindungan dari diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan. Unsur selanjutnya adalah hak orang tua dan anak dalam kaitannya dengan agama atau kepercayaan dan hak untuk menolak alasan hati nurani. Kewajiban negara tercermin dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama tahun 1981. Kata-kata dalam Pasal 2 Deklarasi ini menekankan “

Penyebab Kenakalan Remaja Dan Cara Mencegahnya

Tidak seorang pun boleh mengalami diskriminasi oleh negara, lembaga, kelompok atau individu atas dasar agama atau kepercayaan

Dalam konteks Indonesia, jaminan hak asasi manusia dalam Konstitusi mengalami pasang surut. Sejak ditetapkannya UUD 1945, bunyi Pasal 29 ayat (2) berbunyi “

“. Amandemen UUD 1945 kemudian lebih jelas mengatur kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Pasal 28I ayat (4) diatur

. Pasal ini merupakan sumber komitmen Indonesia terhadap hak asasi manusia, namun juga asal muasal kewajibannya

Keberagaman Dan Perbedaan Harus Membuat Kita Semakin Kaya Akan Nilai Nilai Luhur Dan Semakin Cerdas Dalam Menangkal Distorsi Bangsa

Jelaskan perbedaan sumber daya alam yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui