Bila Kita Sering Bertanya Ilmu Menjadi – “Innal Mu’allima Wa At-Thobiiba kilahaumaa Laa Yanshohaani Idzaa Humaa Lam Yukromaa”. Padahal, guru dan dokter tidak akan menasihati Anda (baca: guru mengajar dokter) jika tidak dihormati. Kalimat di atas sudah tidak asing lagi di telinga, khususnya yang pernah merasakan dunia pesantren. Kalimat di atas adalah bagian dari bait sebuah mata pelajaran yang dipelajari di sebuah pesantren, Mahfudzhat. Di dalamnya terkandung penekanan bahwa penting untuk menghormati atau memuji guru. Menghormati guru merupakan syarat mendasar untuk keberhasilan dalam belajar. Karena peranannya yang begitu besar, seorang ulama pernah berkata, “Menghormati gurumu lebih utama daripada ilmu yang kamu dapat darinya.”

Sejak lama para ulama kita mencontohkan etika hormat kepada guru, sehingga banyak lahir kitab-kitab yang menjelaskan tentang etika guru, seperti kitab Ta’lim muta’allim karya Syekh Al-Jarnuzi, Lamiyah At- Tullab. , Adab Al’Alim wa Al-Muta’allim, dalam kitab Muraqil Ubudiyah Syarah Bidayah Al-Hidayah karya Syekh Nawawi Al-Jawi juga disebutkan sebuah pasal (bagian) khusus yang menjelaskan bagaimana menghormati guru dan orang lain. Disebutkan dalam penelitian yang dilakukan oleh umat Islam di Jepang, salah satu alasan keberhasilan negara kecil ini adalah banyak lembaga pendidikan sering mengadakan upacara khusus setelah lulus, yaitu membasuh kaki para guru untuk memuji mereka atas ilmunya. mereka punya. memberi Seharusnya, jauh sebelum Jepang melakukan itu, para pendeta kita mengajarkan cara peradaban dan etika kepada para guru. Dahulu para ulama kita berlomba-lomba meraup berkah ilmu dari sikap ta’zhim terhadap orang yang mengajarkan ilmu tersebut. Seperti yang dapat dilihat dalam rangkaian kata-kata dan tindakannya di bawah ini:

Bila Kita Sering Bertanya Ilmu Menjadi

Imam Ali bin Husein Al-Atthas pernah berkata: “Sesungguhnya ilmu dan pemahaman yang diterima seseorang itu sesuai dengan kadar adab dengan gurunya (selain kebodohannya dalam belajar). At-ta’diib qabla At -ta’ allum , hormatilah guru sebelum belajar.” Dulu, anak-anak Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Ma’mun berselisih siapa yang akan memakai sepatu master Imam Al-Kisa’i (Ulama Qiroat). Sab’ah dan Nahwu dari Kuffah) Pertama sang guru berkata, “Jangan berkelahi! Setiap orang punya pihak.”

Baca Juga  Apa Yang Bisa Kita Contoh Dari Dwi

Ketika Alumni Lklb Bertanya “mengapa Pastor Tidak Menikah?”

Imam Abu Hanifah setelah kepergian majikannya, Hammad Al-Kufi (dari kalangan tabi’in) tak henti-hentinya mendoakan dirinya dan kedua orang tuanya usai shalat.

Imam Ad-Dunya Al-Imam As-Syafi’i berkata: “Ketika saya belajar dengan Imam Malik, dia menulis buku-buku saya dengan lambat sehingga Imam Malik tidak mendengarnya dan tidak diganggu.”

Imam Ar-Rabi’ (murid Imam Syafi’i) berkata: “Saya tidak pernah minum di depan guru saya, Imam Syafi’i. Untuk menjaga kewibawaannya.”

Suatu hari, Imam Nawawi diundang makan oleh gurunya, Imam Al-Irbily (murid Ibnu Sholah, Shohibul Muqoddimah) dan dia berkata, “Guru, maaf saya tidak bisa mengikuti undangan Anda karena suatu alasan.” Salah satu temannya bertanya “Apa itu Udzur?”. Imam Nawawi menjawab: “Saya takut makan daging yang guru saya mau makan dulu, sedangkan saya tidak merasa.”

Malu Bertanya Miskin Pengetahuan”

Dan masih banyak kisah para akademisi yang mengajarkan cara peradaban dan etika guru. Maka awas, mereka menjadi orang-orang hebat dan mulia. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menjadi pendiri mazhab. Begitu pula Imam Nawawi, menjadi salah satu Umdatul Mazhab. Dan dengan karyanya alam semesta akan bangkit. Masya Allah! Rasulullah SAW bersabda “Pelajarilah ilmu, pelajarilah ilmu dengan damai dan hormat serta rendah hati bagi yang mengajarimu.” Ilmu tidak akan diterima secara utuh kecuali disertai dengan sikap rendah hati murid terhadap gurunya. Karena kebahagiaan guru terhadap siswa akan membantu proses penyerapan ilmu. Sikap Tawaddhu siswa terhadap gurunya merupakan cerminan dari tingginya sikap siswa terhadap gurunya.

Guru adalah wakil orang tua di sekolah. Nabi Muhammad dalam sabdanya mengatakan bahwa ada tiga orang tua: Satu, orang tua yang melahirkan dan merawat kita di rumah, yaitu orang tua kita. Kedua, orang tua yang mendidik dan mengajar kita, khususnya para guru di sekolah. Tiga, seperti mertua kami. Oleh karena itu, kita harus menghargai guru kita seperti kita menghargai orang tua kita. Ihya Ulumuddin dari Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa “hak seorang guru lebih besar dari hak orang tua. bukan karena usaha para guru, maka usaha orang tua akan sia-sia dan sia-sia, karena gurulah yang membekali manusia dengan bekal hidup yang kekal di masa depan.(Ed: Wifa El-Khairah R. )

Baca Juga  Antonim Sporadis

Bila tangan sering kesemutan, mungkinkah bila ku bertanya, kita bertanya alquran menjawab, kenapa kita sering kesemutan, chord mungkinkah bila ku bertanya, mengapa kita sering kesemutan, bila kita, kenapa kita sering kencing, ilmu perempuan suka kita, mengapa kita sering kencing, peterpan mungkinkah bila ku bertanya, kenapa kita sering pipis